Asal Usul kambing Gembrong terdapat di daerah kawasan Timur Pulau Bali terutama di Kabupaten Karangasem. Ciri khas dari kambing gembrong adalah berbulu panjang. Panjang bulu sekitar berkisar 15-25 cm, bahkan rambut pada bagian kepala sampai menutupi muka dan telinga. Rambut panjang terdapat pada kambing jantan, sedangkan kambing Gembrong betina berbulu pendek berkisar 2-3 cm. Warna tubuh dominan kambing Gembrong pada umumnya putih (61,5%) sebahagian berwarna coklat muda (23,08%) dan coklat (15,38%). Pola warna tubuh umumnya adalah satu warna sekitar 69,23% dan sisanya terdiri dari dua warna 15,38% dan tiga warna 15,38%. Rataan litter size kambing Gembrong adalah 1,25. Rataan bobot lahir tunggal 2 kg dan kembar dua 1,5 kg. Tingkat kematian prasapih 20%.
Asal usul kambing gembrong belum bisa dipastikan. Ada yang menduga kambing tersebut merupakan persilangan antara kambing Kashmir dengan kambing Turki. Dugaan ini didasarkan pada ciri-ciri fisik kambing yang hampir mirip dengan kambing gembrong.
Dua jenis kambing itu masuk ke Bali dari luar negeri sebagai hadiah untuk seorang bangsawan Bali. Dari persilangan dua kambing itulah kambing gembrong muncul. Kambing itu berkembang hingga beranak pinak. Tetapi, cerita ini juga masih simpang siur. Soal asal usul kambing gembrong masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.
“Kambing gembrong sangat unik. Kambing ini dulunya banyak hidup di daerah pantai di Kabupaten Karangasem. Nelayan sering memotong bulunya yang panjang lalu diikatkan ke kail untuk menangkap ikan,” kata Ketua Yayasan Bali Tekno Hayati yang juga peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Bali, Suprio Guntoro.
Kajian ilmiah soal “khasiat” bulu kambing itu hingga bisa mengundang ikan datang memang belum diketahui secara persis. Para nelayan setempat berkeyakinan, bulu yang ditaruh dekat kail itu bercahaya hingga mengundang ikan berdatangan.
Ikan yang hiruk pikuk di dekat bulu itu akan tersangkut mata kail yang letaknya tak jauh dari bulu kambing itu. Tanpa pakan, nelayan dengan mudah mendapat ikan. Cara ini sudah dikenal lama dan masih digunakan nelayan setempat.
IHWAL makin punahnya kambing itu diduga disebabkan oleh banyak hal. Ada yang menyebutkan bermula dari kepercayaan nelayan yang berkeyakinan bahwa bila kambing jantan sering dikawinkan dengan kambing betina akan menyebabkan bulunya rontok.
Mereka berusaha mencegah kambing jantan itu mengawini kambing betina agar bulunya tetap lebat. Maklum saja, mereka berusaha mendapatkan bulu itu karena harganya sangat mahal, bahkan hingga mencapai Rp 400.000 per kilogram. Tentu saja nelayan berusaha agar bulu kambing itu tetap lebat.
“Akibatnya regenerasi kambing gembrong ini sangat lambat, hingga sekarang tinggal sedikit. Kita sudah berupaya dengan memberi penyuluhan kepada penduduk bahwa tidak benar kalau sering kawin bisa mengakibatkan bulu rontok,” kata Guntoro.
Upaya penyuluhan terus dilakukan, tetapi masih saja ada masyarakat yang percaya dengan keyakinan itu hingga menyulitkan upaya pelestarian kambing itu. Keyakinan itu masih melekat di kalangan pemilik kambing.
Makin punahnya kambing itu juga diakibatkan desakan ekonomi nelayan setempat. Para nelayan yang umumnya miskin dengan mudah menjual kambing itu ke tukang jagal karena desakan ekonomi. Misalnya ketika anak harus sekolah, mereka terpaksa menjual kambing itu untuk biaya sekolah anak-anak mereka.
Ada juga yang menyebutkan, dengan bulu yang lebat hingga menutup bagian kepala, menjadikan kambing ini mudah punah. Alasannya, kambing ini kesulitan untuk makan akibat mata dan mulutnya tertutup oleh bulu. Kesulitan ini mengakibatkan makanan sulit masuk ke mulut hingga tidak bisa menerima masukan gizi yang memadai. Akibatnya, kambing mudah terserang penyakit hingga mati. Semua penyebab ini mungkin saja saling berkait hingga makin memperparah kepunahan kambing tersebut. Tanpa disadari kambing itu terus berkurang.
UPAYA untuk melestarikan kambing gembrong ini belum dilakukan secara serius. Dari tahun ke tahun belum ada pihak yang mau melestarikan hewan ini, bahkan nyaris terlupakan dan tidak mendapat perhatian.
Pada mulanya, Yayasan Bali Tekno Hayati yang mendapat sponsor dari Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) pada tahun 1998-1999 mulai melakukan konservasi. Dengan dana Rp 25 juta, yayasan membeli kambing itu dari nelayan, kemudian menitipkannya.
Mereka yang dititipi berhak mendapat induknya, namun berkewajiban untuk menyerahkan anakannya. Dari anakan ini, yayasan kemudian menitipkannya lagi ke peternak lainnya yang diharapkan agar terus berkembang hingga kambing ini bisa lestari.
Akan tetapi, upaya ini hanya berlangsung dua tahun akibat yayasan kesulitan dana untuk melestarikan kambing itu. Dana dari Kehati hanya dapat digunakan selama dua tahun itu.
Di sisi lain, dengan alasan tertentu akibat desakan ekonomi, kambing-kambing itu tidak terurus dengan baik. Bahkan, peternak juga ada yang menjualnya hingga upaya pelestarian terhambat.
Agar tidak makin punah, Yayasan Bali Tekno Hayati dengan bekerja sama BPTP melokalisasi kambing yang masih menjadi hak yayasan. Sebanyak tujuh ekor kambing akhirnya dipindah dan dipelihara di kebun percobaan BPTP Bali di Desa Sawe, Kabupaten Jembrana.
Dari tujuh ekor itu kini telah beranak menjadi 10 ekor. Kedua lembaga itu kini berusaha melestarikan satwa langka tersebut secara in situ atau di habitatnya, yaitu di Kabupaten Karangasem dan eks situ atau di luar habitatnya.
Mereka juga mencoba menyilangkan dengan kambing peranakan ettawah (PE). Dengan persilangan itu dihasilkan kambing gettah alias gembrong ettawah.
Saat ini, setidaknya terdapat enam induk kambing peranakan ettawa yang mengandung benih gembrong. Persilangan ini salah satunya dilakukan di Desa Bongancina, Kecamatan Bungsubiu, Kabupaten Buleleng. Harapannya, agar kambing gembrong tidak punah.
Upaya pelestarian ini masih jauh dari yang diharapkan. Jumlah kambing itu masih bisa makin berkurang kalau tidak ada upaya serius untuk melestarikannya. Apalagi sebagian besar kambing yang masih hidup berada di tangan peternak atau nelayan yang miskin. Masih banyak dibutuhkan bantuan dan dukungan dari semua pihak agar kambing ini tidak lenyap.
Mengharapkan bantuan pemerintah? Mungkin masih sulit untuk mendapatkan bantuan pemerintah untuk urusan yang satu ini. Pemerintah belum banyak memperhatikan masalah seperti ini. Pemerintah masih sibuk dengan urusan ekonomi dan politik yang belum selesai hingga sekarang.
Siapa tahu ada sponsor yang mau membantu pelestarian kambing gembrong yang satu ini. Sayang bila kambing gembrong hilang dari muka Bumi hanya karena kita lalai untuk melestarikannya.
sumber